Waduh, Ujaran Kebencian Selama Masa Kampanye Pemilu 2024 Meningkat

12 Februari 2024, 22:25 WIB
Zoom meeting yang diselenggarakan Monash University dan AJI tentang peningkatan ujaran kebencian /Istimewa


SUMEDANG BAGUS --Selama masa kampanye calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2024, terjadi peningkatan ujaran kebencian. Hal itu terungkap berdasarkan temuan dari Monash University, Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.  Peningkatan ujaran kebencian terutama yang menyasar sembilan kelompok minoritas. 

Monash University dan AJI Indonesia meluncurkan hasil temuan itu dalam bentuk dashboard atau visualisasi data berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) di Jaksrta, Senin, 12 Februari 2024. Dashboard tersebut dapat diakses pada laman https://aji.or.id/id/hate-speech-monitoring.

Baca Juga: Pj Bupati Sumedang: Tingkat Partisipasi Pemilih Harus Capai 90 Persen pada Pemilu 2024

Dashboard hasil pemantauan ujaran kebencian tersebut memanfaatkan AI yang berguna untuk mengenali tren, menunjukkan dengan tepat bahaya ujaran kebencian. Penggunaan data dari dashboard tersebut diharapkan mampu membantu mengambil keputusan yang tepat untuk mencegah konflik.

Dashboard tersebut melacak ujaran kebencian secara real time di X (sebelumnya Twitter), Facebook, Instagram, dan sejumlah artikel berita online. Tim peneliti Monash University memantau tiga platform media sosial, tersebut sepanjang 1 September 2023 hingga Januari 2024.

Temuan tim Monash Indonesia menunjukkan ujaran kebencian paling banyak muncul di Twitter sebanyak 51,2%. Adapun, ujaran kebencian di Facebook sebanyak 45,15% dan Instagram 3,34%.

“Jumlah ujaran kebencian tertinggi terjadi dua hari setelah debat calon presiden pada 7 Januari 2024 yang bertema Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitik,” kata peneliti Monash University, Ika Idris.

Sebanyak 67 kata kunci digunakan untuk memantau percakapan berkaitan dengan pemilu dan tujuh kelompok minoritas yakni Kristen, Katolik, Tionghoa, Syiah, Ahmadiyah, Lesbian, Biseksual, Biseksual, Transgender, dan Queer atau LGBTQ, dan Penyandang Disabilitas. Terdapat dua peristiwa penting yang memantik percakapan di media sosial, yakni penyerangan Gaza oleh Israel dan kedatangan pengungsi Rohingya, sehingga peneliti menambahkan dua kategori pencarian, yakni Yahudi dan Rohingya. Hasilnya, sebanyak 26,9% atau 182.118 dari total 678.106 teks mengandung ujaran kebencian.

Sebanyak 61.340 teks atau sekitar 9,05% berkaitan langsung dengan isu pemilihan umum. Dari jumlah tersebut, terdapat 46,31% yang mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas.

Peneliti Monash, Derry Wijaya menjelaskan metode dan serangkaian proses pemantauan. Pemantauan ujaran kebencian tersebut melewati lima tahapan yakni diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk mengetahui permasalahan dan mengumpulkan kata-kata ujaran kebencian untuk digunakan sebagai kata kunci pengumpulan data. Selanjutnya melalui pengumpulan data dari tiga platform media sosial, anotasi manual oleh 17 anotator dari perwakilan kelompok minoritas, pemodelan dengan pembelajaran mesin, dan visualisasi data.

Riset tersebut mengelompokkan ujaran kebencian dalam enam kategori, yakni serangan terhadap identitas, hinaan, ancaman/hasutan, kata-kata kotor, seksual/vulgar, dan lainnya. Sebuah teks, apalagi yang panjang, dapat mengandung lebih dari satu kategori ujaran kebencian sehingga peneliti menghitung semua kemungkinan kategori yang ada dalam satu teks.

Hasilnya, kategori serangan terhadap identitas mendominasi bentuk ujaran kebencian sebanyak 123.968, hinaan 104.664, kata-kata kotor 42.267, ancaman/hasutan 39.153 teks, seksual/vulgar 3.528 teks, dan lainnya 5.665 teks. Serangan terbanyak menimpa kelompok Yahudi sebanyak 90.911 teks. Kemudian kelompok disabilitas  sebanyak 4.6278 teks, Tionghoa 9.563 teks, LGBTIQ 7.262 teks, lainnya 5.587 teks, Kristen & Katolik 4.755 teks, Syiah 1.214 teks, dan Ahmadiyah 55 teks.

Ujaran kebencian terbanyak ditujukan terhadap kelompok Yahudi karena peristiwa serangan Israel di Gaza. Adapun, kelompok disabilitas menunjukkan percakapan intens tentang buta hukum, tuli terhadap suara rakyat, yang menekankan konteks kecacatan hukum dan kecacatan demokrasi.

Unggahan ujaran kebencian terbanyak muncul di X sebanyak 120,381 unggahan atau 66,1 persen. Kemudian Facebook sebanyak 56,780 teks atau 31,18%, dan Instagram 4,472 teks atau 2,46%.

Unggahan yang mengandung ujaran kebencian di Facebook dibagikan sebanyak 4 Juta kali dengan jumlah komentar sebanyak 15 juta. Di Instagram, unggahan yang mengandung ujaran kebencian disukai (love) oleh 181 juta orang dan dibagikan sebanyak 9 juta kali. Di X, cuitan unggahan kebencian dilihat sebanyak 51 miliar kali, menjangkau 5 miliar pengguna, dan dibagikan sebanyak 6 juta kali.

Pada ketiga platforms, analisis mengambil data teks (tweet, reply, dan quote tweet) di X dengan cara mengekstrak data melalui platform Brandwatch dengan sampling rate 38%. Ada juga data teks dari deskripsi unggahan melalui Facebook Page, Facebook Groups, dan Instagram dengan mengekstrak data lewat platform CrowdTangle.

Data retweet di X tidak diambil untuk menghindari masuknya data yang diamplifikasi oleh buzzer atau bots. "Adapun, data komentar pada Facebook dan Instagram tidak diambil karena tidak memungkinkan untuk diambil secarang langsung dan bersamaan,” ujar Derry.

Sekretaris AJI Indonesia, Ika Ningtyas menyebutkan AJI menginisiasi kolaborasi pemantauan ujaran kebencian untuk melihat tren ujaran kebencian secara daring dan mendorong jurnalis memproduksi pemberitaan yang mendukung keberagaman dan penguatan hak- kelompok minoritas. Peluncuran dashboard ujaran kebencian tersebut merupakan rangkaian kegiatan AJI untuk merespon Pemilu 2024.

Ujaran kebencian pada pemilu 2014 dan 2019 digunakan untuk tujuan mengerek suara pemilih sehingga memicu polarisasi. Ujaran kebencian itu berujung pada stigma, persekusi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Menurut Ika, media massa seharusnya bertanggung jawab meredam ujaran kebencian dan memproduksi narasi alternatif untuk mendukung hak-hak kelompok minoritas. “Masalahnya, sejumlah media massa mengamplifikasi narasi kebencian yang diproduksi pasukan siber di media sosial tanpa kontrol yang ketat,” kata Ika.

Monash University dan AJI Indonesia melihat pentingnya penghapusan ujaran kebencian secara daring karena mempengaruhi opini publik. Ujaran tersebut dapat diakses melalui internet di mana saja dan kapan saja sehingga pada kondisi sosial yang tidak menentu, misalnya pada masa kampanye di mana perbedaan preferensi politik semakin menguat.

Ujaran kebencian berpotensi memicu perselisihan sosial. Oleh karena itu, AJI menegaskan, diperlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak untuk menghentikan penyebaran informasi berbahaya, serta mendorong penggunaan internet yang aman dan ramah.***

Editor: B. Hartati

Sumber: AJI

Tags

Terkini

Terpopuler