Banjir Terjang Bandung, Ini Solusi dari Pakar ITB

- 12 Januari 2024, 21:58 WIB
Pakar ITB menanggapi banjir di Bandung
Pakar ITB menanggapi banjir di Bandung /Humas ITB

SUMEDANG BAGUS -- Banjir yang menerjang Bandung Raya pasca hujan lebat pada Kamis 11Januari 2024 membuat berbagai pihak prihatin.  Menyikapi kondisi Bandung saat ini, Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (FITB ITB), Dr. Heri Andreas S.T., M.T., menyampaikan perlu sejumlah langkah untuk mengatasi banjir di Kota Bandung dan umumnya di Indonesia. Salah satunya, menurut Heri diperlukan lembaga khusus yang menangani persoalan tersebut.

Hal itu diungkapkan dosen dari Kelompok Keahlian Sains Rekayasa dan Inovasi Geodesi menanggapi banjir yang menerjang permukiman warga Gang Apandi, Braga, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Kamis 11 Januari 2024. Heri mengatakan, pengelolaan volume air yang meningkat saat hujan deras dapat dilakukan dengan infiltrasi (penguatan daya serap) maupun run off (penguatan daya tampung).

Baca Juga: Meninjau Braga, Bey Machmudin Tegaskan, Perbaikan Tanggul Harus Selesai Hari Ini

Jika infiltrasi diutamakan sebagai solusi, maka lahan terbuka hijau harus sangat banyak sehingga daya serap air semakin besar. Namun, wilayah di Kota Bandung khususnya bagian utara, yang mestinya menjadi daerah serapan sudah dipenuhi dengan permukiman. Hal itu dinilai membuat solusi dengan infiltrasi atau menambah daya serap menjadi tidak realistis.

Adapun pilihan lainnya, yakni penguatan daya tampung, dapat dilakukan dengan normalisasi area sungai, naturalisasi, maupun kolam retensi. Namun, hal itu pun memiliki tantangan tersendiri karena kondisi kota yang sudah padat.

"Realitasnya, apakah daya tampung dapat disiapkan secara maksimal karena di lapangan sudah padat sehingga sulit untuk pelebaran sungai. Kolam retensi pun sulit dilakukan. Akhirnya yang memungkinkan ditanggul setinggi mungkin. Persoalannya, ketika tanggul tersebut jebol bencananya juga luar biasa," tuturnya pada Jumat 12 Januari 2024.

Beliau mengatakan,kapasitas Sungai Cikapundung relatif kecil sehingga tidak dapat menampung volume air yang besar. "Pemerintah sudah melakukan mitigasi melalui pembuatan tanggul sehingga sedikit menambah kapasitas sungai dan air tidak luber ke samping kiri dan kanan sungai. Namun, ketika volume airnya besar akan ada potensi tanggulnya jebol," ujarnya.

Beliau mengatakan, curah hujan memiliki karakteristik rendah, tinggi, dan bisa sangat tinggi serta memiliki masanya. Suatu ketika akan muncul siklus banjir 5 tahunan hingga dalam waktu yang lebih cepat maupun lama.

"Banjir kemarin itu, kemungkinan volume yang biasa terjadi sekian puluhan tahunan. Jadi ada anomali curah hujan yang sangat besar," ucapnya.

Di sisi lain, beliau mencontohkan sejumlah kota di negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Cina, Thailand, hingga Filipina yang sudah menerapkan infiltrasi yang sangat baik untuk mempersipkan apabila terjadi siklus banjir tertentu. "Di Jepang misalnya Infiltrasinya dibuat bagus, kapasitasnya dibuat sangat besar. Kiri kanan sungai dapat menampung seandainya ada banjir," ujarnya.

Menurutnya, di pinggiran sungai di Jepang, ketika hujannya kecil lokasi tersebut dapat menjadi area bermain hingga fasilitas olahraga. Ketika curah hujan tinggi area tersebut menjadi daya tampung banjir.

Selain itu, solusi lain yang sudah ada di Tokyo, Jepang, seperti katedral bawah tanah yang dibangun di bawah infrastruktur gedung-gedung untuk daya tampung air yang sangat luar biasa. Sedangkan di Hongkong, yang kotanya sudah padat, memutuskan penanganan banjir dengan underground tunnel, yakni pembesaran gorong-gorong di bawah tanah sebagai opsi lain dari aliran sungai.

Di sisi lain, beliau menilai perlunya rencana strategi (renstra) dari pemerintah untuk jangka waktu yang panjang, misalnya 20 tahun ke depan untuk penanganan banjir. Beliau pun menekankan perlunya ada lembaga khusus yang fokus untuk penanganan banjir.

"Belum ada pihak yang fokus dan bertanggung jawab untuk menangani banjir. Dari sisi kelembagaannya, entah itu koordinasi antar lembaga, entah itu lembaga yang benar-benar berdedikasi untuk urusan banjir ternyata masih belum khusus ada. Seharunya perlu lembaga khusus yang fokus terhadap banjir. Di sisi lain, upaya lebih perlu dilakukan untuk mempersiapkan daya tampung dan menambah infiltrasi. Misalnya program biopori ditingkatkan, normalisasi, naturalisasi digiatkan," ujarnya.

Heri pun menegaskan, terkait hal tersebut, karena memerlukan waktu yang panjang, maka perlu investasi yang lebih tinggi untuk mengurangi kerugian yang lebih besar dari banjir.***

Editor: B. Hartati

Sumber: itb.ac.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah