Ini Rekomendasi WALHI Region Jawa Terkait Kondisi Jawa Akibat Bencana Ekologis

- 27 Februari 2024, 18:46 WIB
Press Conference Walhi Region Jawa terkait bencana ekologis
Press Conference Walhi Region Jawa terkait bencana ekologis /B. Hartati/

SUMEDANG BAGUS -- Bencana iklim menerjang Pulau Jawa sepanjang tahun 2023 dan awal 2024, seperti banjir hingga angin puting beliung. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang tahun 2023, terjadi 5.365 bencana iklim yang tersebar di seluruh Indonesia.

Peristiwa bencana tersebut diantaranya 2.051 kejadian kebakaran hutan dan lahan, 1.261 kejadian cuaca ekstrim, 1.255 banjir, 591 longsor, 174 kekeringan, serta 33 abrasi dan gelombang pasang. Belum lagi bencana yang terjadi pada awal tahun 2024 ini, salah satunya yang cukup fenomenal di perbatasan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung yaitu angin puting beliung.

Baca Juga: BPBD Salurkan Terpal untuk Warga Terdampak Puting Beliung di Kertasari

Bencana di sepanjang tahun 2023 tersebut telah memaksa 8 juta lebih penduduk mengungsi, 250 lebih meninggal dunia dan 5 ribu orang luka-luka. Data tersebut belum termasuk angka kehilangan harta benda dan sumber penghidupan sehari-hari.

Menurut Walhi Region Jawa, Kumpulan angka bencana tersebut merupakan dampak dari krisis iklim yang didorong oleh faktor multidimensi, seperti faktor  politis dalam hal ini kebijakan, lalu faktor ekonomis, yakni praktik eksploitasi sumber-sumber alam. Selain itu juga ada faktor sosial, seperti dalih investasi dan pembangunan.

WALHI Region Jawa mencatat beberapa persoalan di antaranya:

1. WALHI DKI Jakarta mencatat bahwa Jakarta telah mengalami banyak  permasalahan lingkungan hidup akibat pembangunan yang tidak melihat kondisi ruang. Salah satu yang muncul dalam persoalan tersebut adalah penurunan permukaan tanah yang mencapai 12 cm per tahun, lalu krisis air bersih, polusi udara, pencemaran laut, sampah dan limbah yang tidak terkelola, serta tenggelamnya pesisir, banjir dan pulau-pulau kecil.

Selama ini masyarakat harus terus merasakan dampak penurunan kualitas hidup, mulai dari banjir, polusi sampai tenggelamnya pesisir. Persoalan tersebut berakar pada ketidakadilan ruang akibat ketimpangan penguasaan agraria di Jakarta yang lebih dari separuhnya telah dikuasai korporasi sehingga menghambat pemenuhan 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai amanat UU Penataan Ruang.

Selain itu RDTR terbaru juga masih memfasilitasi reklamasi, bahkan rencana yang baru-baru ini sebagai respons atas perubahan iklim akan membangun giant sea wall sebagai solusi. Sebab dalam pembangunannya, tanggul laut justru merusak mangrove, mereklamasi pantai, sampai menggusur ribuan nelayan di Jakarta. Alih-alih menjadi proyek adaptasi iklim, tanggul laut justru menjadi maladaptasi iklim sebab dibangun dengan merusak ekosistem dan kehidupan masyarakat.

Halaman:

Editor: B. Hartati


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x