SUMEDANG BAGUS - Hakim Konstitusi Saldi Isra, merupakan satu dari 4 hakim konstitusi yang menyampaikan dissenting opinion terkait putusan yang memungkinkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres). Saldi Isra berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya menolak permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru yang menggugat kelayakan kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden.
Salah satu poin penting dalam dissenting opinion Hakim Saldi Isra adalah mengenai perubahan sikap hakim MK dalam penanganan permohonan ini. Sebelumnya, dalam tiga permohonan sebelumnya dengan nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, mayoritas hakim MK telah menyatakan bahwa masalah usia yang tercantum dalam norma Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang, bukan wewenang mahkamah.
Baca Juga: Meta Berencana Mengenakan Biaya Langganan pada Pengguna Facebook dan Instagram
Keputusan-keputusan tersebut diambil berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 19 September 2023. Pada rapat tersebut, mayoritas hakim telah menolak gugatan yang mengkaitkan usia sebagai syarat kelayakan calon presiden.
Hakim Saldi Isra menegaskan bahwa putusan tiga gugatan sebelumnya seharusnya sudah menutup peluang adanya tindakan lain selain yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Namun, dalam sebuah perkembangan mengejutkan, dua hari berselang, MK kembali menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim untuk menangani perkara dengan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Pada saat itu, Anwar Usman, salah satu hakim konstitusi yang tidak hadir pada rapat sebelumnya, ikut serta dalam rapat tersebut. Hasilnya, MK mengabulkan gugatan tersebut secara sebagian, mengubah pandangan sebelumnya tentang kelayakan kepala daerah di bawah usia 40 tahun untuk maju dalam Pilpres.
Putusan MK ini telah menimbulkan beragam tanggapan dan perdebatan di kalangan pengamat hukum dan masyarakat. Keputusan tersebut memperlihatkan dinamika dalam pengambilan keputusan di lembaga peradilan tinggi Indonesia dan memunculkan pertanyaan tentang otonomi MK dalam menafsirkan hukum yang berlaku.***